🌃 Dongeng Bidadari Turun Dari Kayangan

Ritualini konon kabarnya berasal dari legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Diceritakan kalau Dewi Nawangwulan adalah seorang Bidadari yang turun ke bumi dari kayangan untuk menjenguk putrinya, Dewi Nawangsih, yang akan menikah. Nawangsih adalah anak dari perkawinan Jaka Tarub dengan bidadari Nawangwulan. Padasuatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. sebagaiAnak ManusiaAzmi sebagai Anak Pak RTRidho sebagai Pak RT#Dramaanak#7bidadarikayangan#pagun #Salimbatu #ulunpagun #Bulungan #uluntidung #Ceritaanak7Bi Merekaadalah tujuh bidadari dari kayangan. Jaka Tarub pun memperhatikan ketujuh bidadari itu dari semak-semak, agar mereka tak melihatnya. "Cantik sekali mereka. Andai aku bisa menikah dengan salah satu dari mereka," gumam Jaka Tarub. Aha! Jaka Tarub mempunyai ide. Dengan perlahan, Jaka Tarub mendekat ke sungai. Kononmata air sembilan bidadari ini diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pemandian sembilan bidadari ini airnya tak pernah surut meski kamarau panjang. Berdasarkan cerita rakyat Kelurahan Airmadidi Bawah, konon lokasi ini merupakan lokasi tempat mandi sembilan bidadari yang turun dari kayangan ke bumi. TikTokvideo from Broo Langi (@broolangi): "Ketika bidadari turun dari kayangan untuk ikutan kompetisi Sweet moment di Tepok Bulu VinDes.. #fyp #vindes #tepokbulu #anyageraldine #raisa @Anya Geraldine đŸ€ @RAISA6690". Menang ga menang kalian tetap PEMENANG . suara asli - Broo Langi. Hoteldi Bintan; Download; Kamis, 16 Desember 2010. syair turun hujan Hujan turun membasahi bumi. Rumput yang layu hidup kembali. Cahaya terang hilang seketika. Hujan pun turun bagaikan gempa. Deras dan kuat menghacuri taman bunga. Bunga yang indah hancur ditangkai. Tanah yang ku timbun hancur berkecai. Cacing-cacing masuk kedala tanah BidadariTurun Dari Kayangan à€«à„‡à€žà€Źà„à€•à€źà€Ÿ à€› à„€ Join Facebook to connect with Bidadari Turun Dari Kayangan and others you may know Matanyaberkilau seperti bintang. Gadis itu bernama Dayang Torek. Karena kecantikannya banyak orang terkagum-kagum. Dayang Torek terkenal sampai ke pelosok negeri. Banyak orang yang mengatakan Dayang Torek seperti titisan bidadari dari kayangan. Atau peri (orang Lubuklinggau menyebutnya) yang turun dari langit. MultiverseCerita Rakyat Lalan Belek - Diceritakan di sebuah hutan belantara terdapat sebuah mata air yang menjadi tempat mandi para bidadari dari kayangan. Ada tujuh bidadari, yang setiap malam bulan purnama tanggal empat belas, turun untuk mandi di sana. Ketujuh bidadari tersebut merupakan kakak-beradik yang diketahui bernama; Nawang Sasi Hariyang ditunggu Lahilote datang juga disatu pagi yang cerah setelah turun hujan, tujuh putri kayangan itu kembali datang ke telaga yang indah dengan air jernih itu, mereka sama-sama melepaskan pakaiannya dan masing-masing masuk ke dalam telaga dengan riang gembira sambil bersenda gurau, mereka berenang mengitaru telaga yang indah itu. mtZA. Pada posting sebelumnya kami pernah menerbitkan dongeng Cerita Jaka Tarub dan 7 bidadari. Pada posting kali ini kami menerbitkan ringkasan dari cerita rakyat tersebut. Legenda rakyat ini sangat populer di masyarakat sehingga sudah di terbitkan menjadi beberapa bentuk media seperti film, drama, theater dan lain lain. Adik-adik yang masih sekolah bisa memainkan cerita ini untuk pentas seni nanti yah. Selamat membaca. Ringkasan Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari Beserta Pesan Moralnya Tidak menunggu lama yuk kita baca kisah ini secara lengkap Tujuh Bidadari Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda yang bernama Jaka Tarub. Jaka Tarub tinggal sendirian di sebuah rumah di pinggir hutan. Sehari-hari, ia menghabiskan waktunya dengan memancing. Hasil pancingannya itu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ibunya. “Ah, lebih baik aku memancing di sungai dalam hutan. Pasti ikan di sana lebih banyak, karena tak ada yang mau memancing di sana,” ucap Jaka Tarub. Jaka Tarub pun langsung menuju ke hutan. Benar raja, hutan sangat sepi. Hanya ada binarang di sana. Tanpa membuang waktu, Jaka Tarub langsung melempar kailnya. Tiba-tiba, Jaka Tarub dikejutkan dengan tujuh warna yang melengkung di langit. Warna-warna itu mendarat di ujung sungai tempatnya memancing. Karena penasaran, Jaka Tarub mengejar tujuh warna itu. “Warna apa itu? Sangat indah.” decak Jaka Tarub, merasa kagum. Olala, betapa terkejutnya Jaka Tarub. Di ujung tujuh warna itu, ada tujuh wanita cantik yang sedang bermain air di sungai. Aroma mereka sangat wangi. Ya! Mereka adalah tujuh bidadari dari kayangan. Jaka Tarub pun memperhatikan ketujuh bidadari itu dari semak-semak, agar mereka tak melihatnya. “Cantik sekali mereka. Andai aku bisa menikah dengan salah satu dari mereka,” gumam Jaka Tarub. Aha! Jaka Tarub mempunyai ide. Dengan perlahan, Jaka Tarub mendekat ke sungai. Ia mengambil salah satu selendang milik bidadari. Kemudian, ia menyimpan selendang itu di batik bajunya. Hari semakin sore. Tampaknya Para bidadari sudah lelah bermain air. “Sudah sore, saudariku. Kita harus kembali ke kayangan,” ucap bidadari tertua. Mereka pun bersiap untuk kembali terbang ke kayangan. Namun,salah satu bidadari tampak kebingungan. Ia mencari sesuatu. “Selendangku hilang, saudariku. Aku tak mungkin bisa kembali ke kayangan tanpa selendangku. Selendang itulah yang bisa membuat kita terbang,” ujar bidadari yang kehilangan selendangnya. Ia tampak panik. “Kita tak mungkin menunggu di sini. Pasti Ayahanda mencari kita,” sahut bidadari yang lain. Akhirnya, keenam bidadari meninggalkan bidadari yang selendangnya hilang seorang diri. Bidadari itu sekarang sendirian. Ia terlihat sangat sedih. Jaka Tarub pun mendekati bidadari itu. “Wahai, gadis. Siapakah namamu? Mengapa engkau bersedih?” tanya Jaka Tarub. “Namaku Nawang Wulan. Aku bersedih, karena tak bisa kembali ke rumahku di kayangan,” jawab Nawang Wulan. “Apakah kau seorang bidadari?” tanya Jaka Tarub lagi. Nawang Wulan mengangguk. Jaka Tarub pun mengajak Nawang Wulan ke rumahnya. Karena tak tahu lagi harus tinggal di mana, Nawang Wulan menerima ajakan Jaka Tarub. Jaka Tarub dan Nawang Wulan Menikah Jaka Tarub dan Nawang Wulan akhirnya menikah. Mereka hidup dengan bahagia. Jaka Tarub bekerja di sawah, sedangkan Nawang Wulan mengurus rumah. Bertahun-tahun hidup berkeluarga, ada satu hal yang membuat Jaka Tarub merasa heran. Padi di lumbung tak pernah habis. Padahal, setiap hari padi dimasak. Suatu pagi, ketika Jaka Tarub hendak pergi bekerja, ia bertanya kepada Nawang Wulan. “Istriku, aku heran. Mengapa padi di lurnbung kita selalu banyak? Padahal, setiap hari kita memasaknya,” tanya Jaka Tarub. Nawang Wulan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tentu saja Jaka Tarub menjadi semakin penasaran. Pada suatu pagi yang cerah, Nawang Wulan hendak pergi ke sungai. “Aku hendak mencuci baju. Jangan sekali kali membuka tudung masakanku,” pesan Nawang Wulan kepada Jaka Tarub. Tapi, Jaka Tarub justru menjadi penasaran. Begitu Nawang Wulan pergi ke sungai, diam-diam ia membuka tudung masakan istrinya, Jaka Tarub terkejut. Hanya ada segenggam padi di dalamnya. Pantas saja padi di lumbung tak kunjung habis. Jaka Tarub Melanggar Janji Tak selang berapa lama, Nawang Wulan kembali. Ia bergegas melihat nasi yang dimasaknya. Nawang Wulan tak kalah terkejut, karena segenggam padi yang dimasaknya masih berwujud sama. Ia pun menanyakan hal itu kepada Jaka Tarub. “Iya, aku melihatnya. Aku minta maaf, karena tidak mendengarkan perintahmu,” ucap Jaka Tarub. Nawang Wulan tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang, ia harus bekerja lebih giat karena kekuatan bidadarinya telah lenyap. Berkat kekuatannya itulah, segenggam padi bisa menjadi nasi yang banyak dan padi di lumbung tak kunjung habis. Berbulan-bulan berlalu. Sekarang, padi di lumbung cepat sekali habis. Saat Nawang Wulan mengambil padi untuk dimasak, ia menyentuh sesuatu di dasar lumbung. Alangkah terkejutnya Nawang Wulan saat mendapati sesuatu yang ia ambil dari dasar lumbung adalah sebuah selendang. “Bukankah ini selendangku?” ucap Nawang Wulan sambil meraba selendang itu. Benar, itu adalah selendangnya. Bersamaan dengan itu, Jaka Tarub datang. Melihat Nawang Wulan telah menemukan selendangnya, Jaka Tarub meminta maaf kepada Nawang Wulan. Tapi, Nawang Wulan sudah tak percaya kepada Jaka Tarub. Nawang Wulan memakai selendangnya, lalu kembali ke kayangan. Sementara Jaka Tarub hanya bisa menyesal. Kini, Jaka Tarub kembali sendirian, Pesan moral dari Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari adalah Jika kita menginginkan sesuatu, berusahalah untuk mendapatkannya dengan cara yang baik. Jangan dengan mencuri, ya. Jangan suka mengingkari janji, ya. Nanti teman-teman kita akan menjauhi kita. Cerita Rakyat Nusantara terkait lainnya Bagaimana? Apakah kalian suka dengan dongeng Jaka Tarub, jika suka baca posting lainnya yaitu Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi. Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri. Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu. Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya. Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula. Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya. Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua. Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi. Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi. Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa. Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya. “Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah. Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya. Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang. Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya. Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun. Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”. Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang. Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya. Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak. Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing. “Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga. Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya. Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata. Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”. Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya. Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya. Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung. Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !! Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan. Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat. Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar. “Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya. “Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan. “Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya. “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsihbakar”, lanjut Nawangwulan. ï»żAsal mula telaga Bidadari merupakan salah satu dongeng legenda Indonesia yang sangat populer. Di beberapa bagian cerita legenda ini sangat mirip sekali dengan dongeng Jaka Tarub. Penasaran dengan cerita rakyat nusantara ini? yuk kita ikuti bersama Dahulu kala, ada seorang pemuda tampan. Namanya Awang Sukma. Awang Sukma mengembara ke tengah-tengah hutan. Dia kagum melihat beragam kehidupan di hutan. Dia membangun rumah pohon di dahan pohon yang sangat besar. Dia tinggal di hutan dalam keharmonisan dan kedamaian. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan mendapat gelar “Datu” . Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling wilayahnya, dan dia tiba di sebuah danau yang jernih. Danau itu berada di bawah pohon rindang dengan banyak buah. Burung-burung dan serangga hidup bahagia disana. “Hmm, betapa indahnya danau ini! Hutan ini memiliki keindahan luar biasa,” ucap Datu Awang Sukma dalam hati. Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma meniup serulingnya, ia mendengar suara ramai di danau. Di sela-sela tumpukan batu yang pecah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah danau. Awang Sukma sangat heran sekaligus terkejut ketika melihat 7 gadis cantik sedang bermain air. “Mungkinkah mereka bidadari?” pikir Awang Sukma. Dongeng Legenda Indonesia Asal Mula Telaga Bidadari Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diawasi dan mengabaikan selendang mereka yang digunakan untuk alat terbang, berserakan di sekitar danau. Salah satu selendang terletak di dekat Awang Sukma. “Wah, ini kesempatan bagus untuk mendapatkan salah satu selendang itu,” gumam Datu Awang Sukma. Setelah mengambil satu selendang yang dekat dengannya, Datu Awang Sukma segera berlari untuk bersembunyi kembali. Namun saat berlari tidak sengaja dia menginjak ranting kering. “Krak” Mendengar suara ranting kering patah, para gadis terkejut dan langsung mengambil selendang masing-masing. Mereka dengan tergesa-gesa terbang pergi meninggalkan danau dengan menggunakan selendang ajaib mereka. Namun ternyata ada seorang gadis yang tidak bisa menemukan selendangnya. Dia telah ditinggalkan oleh semua saudara perempuannya. Dia sangat ketakutan dan sedih ditinggalkan seorang diri. Saat itulah, Datu Awang Sukma keluar dari persembunyiannya. Dia berpura-pura tidak sengaja lewat danau tersebut lalu menanyakan apa yang terjadi. Putri bungsupun bercerita tentang apa yang dialaminya. “Jangan khawatir tuan putri, aku akan membantu asal tuan putri tidak menolak untuk tinggal bersamaku,” pinta Datu Awang Sukma. Awalnya Putri bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain, dan dia sudah mulai takut sendirian, maka tidak ada jalan lain selain menerima bantuan Awang Sukma. Datu Awang Sukma mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Begitu pula dengan putri bungsu. Dia senang berada di sekitar pemuda yang tampan dan gagah itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami-istri. Setahun kemudian seorang bayi perempuan cantik lahir dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun, suatu hari seekor ayam hitam naik ke gudang dan menggaruk permukaan lumbung padi. Saat Putri bungsu mencoba mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba matanya tertuju pada tabung bambu yang terletak didalam lumbung padi. Ketika tabung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan bersorak. “Ini selendang saya!” Puteri bungsu menangis. Selendang ajaib itu juga memeluknya. Putri bungsu merasa kecewa dengan suami yang ternyata selama ini telah membohonginya. Namun disisi lain dia juga saat menyayangi suami dan anaknya. Putri bungsu akhirnya memutuskan untuk kembali ke Kahyangan. “Sekarang saatnya aku harus kembali !,” katanya pada dirinya sendiri. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayi. Datu Awang Sukma terpana melihat apa yang terjadi. Dia segera datang dan meminta maaf atas tindakan yang menyembunyikan selendang Putri Bungsu secara diam-diam. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dihindari. “Kanda, tolong jaga dinda Kumalasari dengan baik,” kata putri bungsu kepada Datu Awang Sukma. “Ketika anak kita merindukanku, ambil tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam keranjang yang digoyang-goyang. Saya pasti akan segera datang menemuinya,” kata putri bungsu. Putri bungsu yang telah mengenakan selendangnya, kemudian terbang ke Kahyangan. Datu Awang Sukma sedih dan bersumpah untuk melarang keturunannya beternak anak ayam hitam yang dianggapnya membawa bencana. Tempat mandi putri bungsu dan enam bidadari lainnya kemudian dikenal dengan telaga Bidadari. Pesan moral dari Dongeng Legenda Indonesia ini adalah jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha dengan cara yang baik dan sah menurut hukum. Kita tidak boleh mencuri atau mengambil barang / properti orang lain karena suatu hari kita akan menerima hasil yang buruk. Baca juga dongeng dan legenda nusantara lainnya seperti Cerita Dongeng Anak Bergambar Legenda Timun MasDongeng Cerita Rakyat Legenda Asal Mula Terbentuknya Pulau SenuaCerita Cerita Legenda dan Dongeng Rakyat DuniaKumpulan Cerita Rakyat Legenda Nusantara TerpopulerCerita Legenda Nusantara Anak Kedelapan Prabu WasudewaCerita Rakyat Sumatera Utara Legenda Lubuk Emas

dongeng bidadari turun dari kayangan